Wajah cemas petani garam menjelang panen kemarin dan hari sirna. Pasalnya selama sepekan terakhir matahari bersinar terik, mereka dapat memanen butiran garam yang susah payah diolah selama berhari-hari.
Juki, buruh tambak garam di desa Purworejo kecamatan Kailori bersama rekan lain terlihat sibuk menggaruk butiran garam di tambak, sementara buruh lain memikul keranjang berisi garam menuju gudang.
Mereka berburu dengan waktu, takut tiba-tiba turun hujan yang akan melarutkan butiran siap panen. Meski baru berusia 5 hari dari waktu panen normal 7 hari, mereka tetap memanen karena butuh uang untuk meratakan hari raya idul fitri yang tinggal beberapa hari lagi tiba.
Rasmani, pemilik tambak yang juga produsen garam konsumsi di desa sama saat ditemui menyebutkan untuk memenuhi stock di gudang dia memang memerintahkan pekerjanya memanen tambak. Kondisi persediaan garm di gudangnya saat ini kosong, berimbas pada produksi garam konsums
Meski dari beberapa tambak panen, tutur Rasmani, pengusaha garam konsumsi belum memproduksi. Selain stock garam rakyat yang disetor ke pabrik sebagai bahan baku masih sedkit, harga juga melonjak.
Rasmani yang juga ketua klaster garam lebih lanjut menerangkan, garam rakyat yang dipanen saat ini sekitar 6 kwintal per hektar, total seluruh Rembang hanya berkisar 12 ribu ton. Sedangkan kebutuhan 4 pengusaha garam konsumsi di Rembang mencapai 100 ribu ton
Untuk harga sendiri terus melonjak, sehingga apabila nekad berproduksi, pengusaha garam justru rugi. Awal Agustus harga garam dibuka Rp 450, terus merangkak naik hingga kini mencapai Rp 600 per kilogram.
Menurut Rasmani, naiknya harga beli bahan baku tidak diimbangi meningkatnya harga jual garam konsumsi, masih bertengger di angka Rp 1.300 per kilogram. Dengan biaya produksi khususnya proses iodinasi garam yang dananya cukup besar, pengusaha bahkan tidak bisa mencapai titik impas. Sehingga memilih menghentikan usahanya untuk sementara
Terpisah Kepala Dinperindagkop Rembang Drs Waluyo melalui Kabid Perindustrian Drs Sudirman menyampaikan, fenomena alam kemarau basah atau musim kemarau yang sesekali masih disertai turunnya hujan seperti saat ini, berdampak mengenaskan bagi sektor industri garam. Ribuan hektar tambak garam yang membentang mulai kecamatan Kaliori hingga Sarang gagal panen. karena saat tiba waktunya dikeruk, siang atau malam hari sebelumnya diguyur hujan menjadikan butiran garam kembali mencair.
Menurut Sudirman, dalam situasi seperti ini, Dinperindagkop dan UMKM terus memantau perusahaan garam, apakah menemui kendala berat dalam berproduksi. Untuk bahan baku garam grosok, pihaknya siap memfasilitasi memberikan nama rekanan pengusaha garam di Madura yang dapat dinego agar diperoleh harga sedikit murah.
Juki, buruh tambak garam di desa Purworejo kecamatan Kailori bersama rekan lain terlihat sibuk menggaruk butiran garam di tambak, sementara buruh lain memikul keranjang berisi garam menuju gudang.
Mereka berburu dengan waktu, takut tiba-tiba turun hujan yang akan melarutkan butiran siap panen. Meski baru berusia 5 hari dari waktu panen normal 7 hari, mereka tetap memanen karena butuh uang untuk meratakan hari raya idul fitri yang tinggal beberapa hari lagi tiba.
Rasmani, pemilik tambak yang juga produsen garam konsumsi di desa sama saat ditemui menyebutkan untuk memenuhi stock di gudang dia memang memerintahkan pekerjanya memanen tambak. Kondisi persediaan garm di gudangnya saat ini kosong, berimbas pada produksi garam konsums
Meski dari beberapa tambak panen, tutur Rasmani, pengusaha garam konsumsi belum memproduksi. Selain stock garam rakyat yang disetor ke pabrik sebagai bahan baku masih sedkit, harga juga melonjak.
Rasmani yang juga ketua klaster garam lebih lanjut menerangkan, garam rakyat yang dipanen saat ini sekitar 6 kwintal per hektar, total seluruh Rembang hanya berkisar 12 ribu ton. Sedangkan kebutuhan 4 pengusaha garam konsumsi di Rembang mencapai 100 ribu ton
Untuk harga sendiri terus melonjak, sehingga apabila nekad berproduksi, pengusaha garam justru rugi. Awal Agustus harga garam dibuka Rp 450, terus merangkak naik hingga kini mencapai Rp 600 per kilogram.
Menurut Rasmani, naiknya harga beli bahan baku tidak diimbangi meningkatnya harga jual garam konsumsi, masih bertengger di angka Rp 1.300 per kilogram. Dengan biaya produksi khususnya proses iodinasi garam yang dananya cukup besar, pengusaha bahkan tidak bisa mencapai titik impas. Sehingga memilih menghentikan usahanya untuk sementara
Terpisah Kepala Dinperindagkop Rembang Drs Waluyo melalui Kabid Perindustrian Drs Sudirman menyampaikan, fenomena alam kemarau basah atau musim kemarau yang sesekali masih disertai turunnya hujan seperti saat ini, berdampak mengenaskan bagi sektor industri garam. Ribuan hektar tambak garam yang membentang mulai kecamatan Kaliori hingga Sarang gagal panen. karena saat tiba waktunya dikeruk, siang atau malam hari sebelumnya diguyur hujan menjadikan butiran garam kembali mencair.
Menurut Sudirman, dalam situasi seperti ini, Dinperindagkop dan UMKM terus memantau perusahaan garam, apakah menemui kendala berat dalam berproduksi. Untuk bahan baku garam grosok, pihaknya siap memfasilitasi memberikan nama rekanan pengusaha garam di Madura yang dapat dinego agar diperoleh harga sedikit murah.
Petani Garam Remban |
Sudirman menambahkan, akibat kemarau basah sekarang ini, produksi garam tahun 2010 tidak bisa menyamai produksi pada 2009. Produksi garam tahun lalu sekitar 145.733 ton, dengan waktu efektif usaha bulan Juli hingga Desember.
Sedangkan tahun ini diprediksi hasil produksi jauh berkurang. Pada Agustus saja petani garam tidak maksimal mengerjakan tambak. Sedangkan waktu efektif juga lebih pendek sekitar 4 bulan saja, berakhir November mendatang. (hasan)
Sedangkan tahun ini diprediksi hasil produksi jauh berkurang. Pada Agustus saja petani garam tidak maksimal mengerjakan tambak. Sedangkan waktu efektif juga lebih pendek sekitar 4 bulan saja, berakhir November mendatang. (hasan)